Senin, 07 September 2015

Upsus Pajale

program upsus pajale

Pemenuhan kebutuhan bahan pangan bagi rakyat merupakan tugas negara yang tidak ringan. Penduduk Indonesia yang sudah di atas 250 juta jiwa, lebih dari 90% menjadikan beras sebagai makanan pokok. Angka Tetap (ATAP) BPS tahun 2013, menunjukkan capaian produksi beras nasional 71,28 juta ton GKG atau setara dengan 39,50 juta ton beras, sedang angka impor beras sampai dengan Oktober 2014 sebesar 405 ribu ton. Sisi lain, kedaulatan pangan menjadi harga mati sebagai cita-cita dalam rangka mewujudkan mimpi kemandirian bangsa dan negara dalam bidang pangan.


Dinamika pemenuhan pangan pokok beras menjadi sangat strategis, mengingat hambatan dan problema menghadang kita guna mewujudkannya. Data lapangan menunjukkan sekitar 52% jaringan irigasi dalam kondisi rusak, hampir semua bendung tidak optimal menyediakan suplai air karena sedimentasi yang tidak terkendali, pembangunan bendung baru hampir tidak ada selama kurun waktu 25 tahun ke belakang. Kondisi ini bertambah berat karena pemenuhan kebutuhan benih unggul dan pupuk sering terkendala dengan masalah distribusi sehingga tidak memenuhi kaidah 5 tepat (jumlah, jenis, mutu, waktu dan tempat). Belum lagi adanya alih fungsi lahan sawah menjadi perumahan dan kawasan industri serta kepentingan umum lainnya, angka penyusutan tidak kurang dari 50.000 ha tiap tahunnya, sedangkan program pencetakan sawah baru setiap tahunnya tidak lebih dari 40.000 ha.


Sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan pangan yang terus meningkat, pemerintah telah menetapkan Pencapaian Swasembada Pangan Berkelanjutan yang harus dicapai dalam waktu 3 (tiga) tahun. Untuk pencapaian swasembada berkelanjutan tersebut diperlukan upaya peningkatan produksi yang luar biasa. Oleh karena itu diperlukan perhatian dari berbagai pihak, mengingat banyak kendala harus diatasi dan berbagai tantangan harus diantisipasi seperti Masyarakat Ekonomi ASEAN yang merupakan sebuah wilayah kesatuan pasar dan basis produksi menuntut agar barang, jasa dan SDM Indonesia mampu bersaing dengan negara lain; otonomi daerah; perubahan pola konsumsi; dan dinamika pasar pangan.

peningkatan produksi pangan

Upaya peningkatan produksi padi, jagung dan kedelai terus digulirkan pemerintah pusat. Dana dalam jumlah besar dari Anggaran Pembangunan Belanja Negara Perubahan (APBN) 2015 sebesar Rp 16,9 triliun. Dengan dana sebesar itu pemerintah memberikan sejumlah target penambahan produksi padi, jagung dan kedelai bagi setiap daerah. Rencananya, dengan berbagai bantuan itu petani bisa meningkatkan produktivitas dan menambah areal tanamnya. Bantuan tersebut kemudian disampaikan kepada para petani dalam bentuk bantuan benih, pupuk, perbaikan irigasi, alat dan mesin pertanian.

Tentu sangat banyak faktor yang dapat mempengaruhi produksi pangan nasional, salah satu di antaranya adalah pendampingan dan pengawalan. Pengawalan dan pendampingan menjadi unsur penting dalam menggerakkan para petani untuk dapat menyiapkan teknologi. Pengawalan dan pendampingan ini, tidak hanya dilakukan oleh para penyuluh (PNS dan THL) dan Babinsa (Bintara Pembina Desa) saja, melainkan mahasiswa dan penyuluh swadaya (petani) pun dilibatkan. Penyuluh, Babinsa dan mahasiswa merupakan salah satu penggerak bagi para petani sebagai pelaku utama karena dapat berperan sebagai komunikator, fasilitator, advisor, motivator, edukator, organisator dan dinamisator. Kegiatan pengawalan dan pendampingan inilah yang selanjutna disebut sebagai kegiatan UPSUS (Upaya Khusus) peningkatan produksi tiga komoditas padi, jagung, dan kedelai (Pajale) dalam upaya pencapaian swasembada berkelanjutan.

Dalam UPSUS, kegiatan yang dilakukan tidak hanya berperan sebagai pengawal dan pengaman penyaluran benih, pupuk, dan alsintan saja, namun selain itu juga mengawal gerakan perbaikan jaringan irigasi, sistem tanam serentak, dan pengendalian OPT. UPSUS pun juga berperan dalam mempercepat penerapan teknologi peningkatan produksi padi, jagung, dan kedelai melalui GP-PTT, PAT, dan optimasi lahan.

Strategi dan Sinergi

Meski pengawalan dan pendampingan ini dilakukan penyuluh, Babinsa, dan mahasiswa, tentu saja tugasnya berbeda-beda. Untuk penyuluh, tugas-tugasnya adalah melaksanakan pengawalan dan pendampingan pelaksanaan GP-PTT, POL, RJIT, dan PAT. Penyuluh pertanian berperan penting dalam meningkatkan kemampuan kelembagaan petani (Poktan, Gapoktan, P3A, dan GP3A) dan kelembagaan ekonomi petani. Mengembangakan jejaring dan kemitraan dengan pelaku usaha, dan melakukan identifikasi pendataan serta pelaporan teknis pelaksanaan kegiatan.

Bintara Pembina Desa

Sementara tugas Babinsa adalah menggerakkan dan memotivasi petani untuk tanam serentak, perbaikan dan pemeliharaan jaringan irigasi, gerakan pengendalian OPT, dan panen. Mereka pun harus mendukung pula dalam keadaan tertentu. Misalnya penyaluran benih, pupuk, dan alsintan tepat sasaran serta melaporkan infrastruktur jaringan irigasi. Di lapangan, kehadiran Babinsa dalam program pangan akan menjadi motivator dan pendorong bagi petani dan kelompok tani, lebih dari itu, kehadiran Babinsa juga menjadi pemicu serta pemacu bagi para penyuluh dan petugas pertanian di lapangan. Namu yang perlu ditegaskan adalah bahwa kehadiran Babinsa bukan untuk mengambil penyuluh, tetapi lebih ke arah sinergi langkah dan gerak dengan fungsi dan perannya masing-masing guna mendinamisasi pembangunan pertanian di pedesaan.

Peran Mahasiswa

Peran mahasiswa pertanian

Mahasiswa pun tak luput dalam upaya pengawalan dan pendampingan ini, tapi harus dilakukan bersama dengan penyuluh pertanian. Hampir sama seperti para penyuluh, tugas mahasiswa adalah melaksanakan pengawalan dan pendampingan pelaksanaan GP-PTT, POL, RJIT, dan PAT. Selain itu mahasiswa juga berperan memfasilitasi introduksi teknologi dari Perguruan Tinggi, mengembangkan jejaring dan kemitraan dengan pelaku usaha serta identifikasi pendataan dan pelaporan teknis pelaksanaan kegiatan.

Berbeda dengan penyuluh pertanian dan Babinsa, mekanisme untuk mahasiswa harus bersinergi dengan program akademik yaitu KKN (Kuliah Kerja Nyata). Mekanisme pendampingan yang dilakukan mahasiswa saat ini melibatkan 5 STPP (Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian) dan 14 Universitas Negeri/Institut Pertanian Negeri. Lima STPP yang terlibat adalah STPP Medan, STPP Bogor, STPP Magelang, STPP Malang, dan STPP Gowa. Sedangkan untuk PTN yang terlibat adalah Universitas Syah Kuala (Aceh), Universitas Sumatera Utara (Sumut), Universitas Andalas (Sumbar), Universitas Sriwijaya (Sumsel), Universitas Lampung (Unila), Institut Pertanian Bogor (Bogor), Universitas Gajahmada (Yogyakarta), Universitas Lambung Mangkurat (Kalsel), Universitas Tanjungpura (Kalbar), Universitas Brawijaya (Malang), Universitas Udayana (Bali), Universitas Mataram (NTB), Universitas Tadulako (Sulteng), dan Universitas Hasanuddin (Sulsel).
mahasiswa dalam upsus pajale
Para mahasiswa kemudian akan disupervisi dosen dan masyarakat tani. Untuk satu dosen, umumnya memegang 5-10 mahasiswa. Terdapat beberapa persyaratan yang dipertimbangkan oleh masyarakat tani dan harus dipenuhi oleh mahasiswa. Persyaratan tersebut yaitu direkomendasikan oleh organisasi/asosiasi petani, diutamakan berlatar pendidikan pertanian, sebaiknya berdomisili di lokasi kabupaten pendampingan, serta berkelakuan baik dan berkomitmen penuh terhadap program.

Epilog


Akhirnya terlepas dari program tersebut, petanilah yang menjadi penentu akhir terwujudnya target peningkatan produksi pangan negeriini. Keterlibatan semua pihak di sini, yakni pemerintah pusat, pemerintah daerah, penyuluh, TNI, dan akademisi tetap tidak bisa melupakan peran penting para petani. Oleh karena itu kita semua harus bersungguh-sungguh dan berkomtmen mendampingi petani dengan informasi, teknologi dan solusi-solusi kekinian terhadap persoalan yang dihadapi oleh petani, baik di on farm maupun off farm. Sehingga akhirnya petani dapat merasa dilindungi dan menjadi bergairah kembali dalam meraih produksi tinggi dan lestari.


http://www.agronomers.com/2015/05/upsus-pajale.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar